Jakarta, Lapan.go.id, Lapan menyelenggarakan simposium peringatan 10 tahun operasi radar VHF (Very High Frequency) terbesar dan terlengkap di kawasan ekuator (garis khatulistiwa). Radar tersebut bernama Equatorial Atmosphere Radar (EAR) atau radar atmosfer khatulistiwa. Peringatan tersebut berlangsung pada 22 dan 23 September 2010 di Ruang Audiovisual BPPT, Jakarta. Radar berfrekuensi tinggi ini telah memberikan banyak manfaat bagi penelitian atmosfer. Menteri Riset dan Teknologi, Drs. Suharna Surapranata, MT, saat membuka simposium, Kamis (22/9), mengatakan bahwa radar ini sangat penting untuk memahami atmosfer di wilayah ekuator. “Pemahaman ini diperlukan untuk mengurangi dampak perubahan atmosfer terhadap masyarakat dan ekonomi,” ujarnya. EAR merupakan radar terbesar dan terlengkap di ekuator setelah radar MST (Mesosphere Stratosphere Trophosphere) yang berada di Peru dan India. Di Indonesia, EAR ditempatkan tepat di garis khatuslistiwa yaitu di Kototabang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Radar ini berfungsi sebagai pengamatan atmosfer yang berpengaruh pada iklim global. EAR bahkan merupakan salah satu mata rantai pemantauan iklim global, khususnya di kawasan ekuator. Alat ini juga dirancang untuk mendeteksi perilaku arah dan kecepatan angin. Salah satu aktivitas pemanfaatan EAR adalah pengamatan musim hujan di Indonesia. Berbagai perubahan di atmosfer dapat terdeteksi oleh EAR. Deputi Bidang Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lapan, Prof. Dr. Thomas Djamaluddin, mengatakan bahwa radar menangkap berbagai anomali yang ada di atmosfer. Contohnya, sebelum terjadi tsunami di Aceh pada 2004, EAR menangkap adanya perubahan di atmosfer. “Mungkin saja perubahan di atmosfer dapat menjadi indikasi akan adanya tsunami, namun hal ini perlu penelitian lebih lanjut. Jika atmosfer memiliki kaitan dengan tsunami, maka ini dapat menjadi suatu peringatan dini,” ujarnya. Kolaborasi Indonesia-Jepang EAR merupakan hasil kerja sama antara Lapan dengan Research Institute for Sustainable Humanosphere (RISH) Universitas Kyoto, Jepang. Suharna menjelaskan, kolaborasi kedua negara di tersebut telah meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di bidang atmosfer. Kolaborasi ini juga akan mendorong minat peneliti muda untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat. Penempatan EAR di Indonesia bukan tanpa alasan. Menurut peneliti Lapan bidang Atmosfer, Dr. Eddy Hermawan, radar tersebut diletakkan di Indonesia karena negara ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan atmosfer di wilayah katulistiwa lainnya. Wilayahnya yang dua per tiga terdiri dari lautan memungkinkan kawasan Indonesia berperan sebagai penyimpan panas terbesar bagi pembentukan kumpulan awan-awan raksasa. Akibatnya, kawasan Indonesia dianggap sebagai salah satu mesin pembangkit utama terjadinya perubahan iklim global seperti peristiwa La Nina dan El Nino. Peranan kawasan ekuator Indonesia terhadap perubahan iklim global inilah yang mendorong dibangunnya EAR di negara ini. | ||
Sumber: Humas/MEG |
Tags:
LAPAN
Leave a comment